Rabu pagi yang tenang di Turin, 29 Oktober 2025, seketika berubah menjadi pusat gempa sepak bola Italia. Dalam sebuah langkah yang drastis, mengejutkan, dan penuh risiko, Juventus secara resmi mengumumkan pemecatan pelatih kepala, Igor Tudor, beserta tiga anggota stafnya.
Pengumuman ini, yang dirilis melalui situs resmi klub, datang seperti petir di siang bolong. Meskipun awan mendung sudah terkumpul di atas Allianz Stadium selama beberapa pekan terakhir, sedikit yang menduga palu akan diketuk secepat ini, di tengah jadwal yang padat dan musim yang baru saja dimulai.
Nobar / Live Match : http://updatebola.live

Bagi banyak Juventini, ini adalah sinyal yang membingungkan. Bagi yang lain, ini adalah langkah yang tak terelakkan. Keputusan ini mengakhiri masa jabatan singkat pelatih asal Kroasia itu, sebuah periode yang dimulai dengan optimisme tinggi akan “sepak bola modern” tetapi berakhir dengan realitas pahit di ruang ganti dan papan klasemen.
Updatebola melakukan analisis mendalam untuk membedah lapisan-lapis alasan di balik keputusan radikal manajemen Bianconeri, menelusuri retaknya hubungan, dan memetakan siapa yang mungkin akan mengambil alih kemudi kapal yang sedang oleng ini.
Kronologi Sebuah Perpisahan yang Tak Terhindarkan
Pemecatan ini bukanlah keputusan impulsif yang diambil dalam semalam. Ini adalah puncak dari akumulasi masalah yang telah mengakar sejak pramusim. Laporan dari berbagai media terpercaya Italia menyebutkan bahwa keputusan final diambil oleh dewan direksi, dipimpin oleh Direktur Olahraga Cristiano Giuntoli, setelah pertandingan terakhir yang mengecewakan.
Hasil imbang 1-1 melawan tim papan bawah, di mana Juventus sekali lagi tampil tanpa gairah dan kebingungan taktis, menjadi jerami terakhir yang mematahkan punggung unta.
Dalam pernyataan resminya, Juventus memilih kata-kata korporat yang dingin:
“Juventus Football Club mengumumkan telah membebastugaskan Igor Tudor dari perannya sebagai pelatih tim utama. Klub mengucapkan terima kasih atas dedikasi yang telah ditunjukkan dan mendoakan yang terbaik untuk karir profesionalnya di masa depan.”
Namun, di balik pernyataan diplomatis itu, tersimpan kisah tentang benturan filosofi yang fundamental, kegagalan adaptasi, dan hilangnya kepercayaan di ruang ganti.
Analisis Kegagalan: Benturan DNA Juve vs Revolusi Tudor
Untuk memahami mengapa Igor Tudor gagal di Juventus, kita harus memahami dua hal: apa itu “DNA Juventus” dan apa yang coba dibawa oleh Tudor.
DNA Juventus, yang telah ditempa selama satu abad, adalah pragmatisme. Slogan “Vincere non è importante, è l’unica cosa che conta” (Menang bukan hanya penting, tapi satu-satunya hal yang berarti) adalah segalanya. DNA ini berarti kemenangan 1-0 lebih berharga daripada hasil imbang 3-3 yang menghibur. Ini adalah tentang soliditas pertahanan, manajemen permainan yang cerdik, dan mentalitas baja untuk menderita demi hasil.
Igor Tudor, di sisi lain, adalah murid dari sekolah sepak bola yang sama sekali berbeda. Ia adalah penganut “Gasperini-ball” atau “Juric-ball”; sepak bola yang proaktif, super-agresif, menuntut fisik tingkat tinggi, dan menerapkan penjagaan man-to-man di seluruh lapangan.
Di atas kertas, menunjuknya adalah langkah berani dari manajemen untuk “memodernisasi” Juventus, melepaskan diri dari citra pragmatis yang membosankan peninggalan era sebelumnya. Namun, dalam praktiknya, itu seperti mencoba mencampur minyak dan air.
Taktik Tudor yang Kaku: Sistem Tudor menuntut para pemain untuk berlari tanpa henti, menekan secara individu, dan bermain dengan intensitas tinggi selama 90 menit. Di klub seperti Hellas Verona atau Marseille, di mana ia sukses, ia memiliki pemain yang “lapar” dan bersedia “mati” untuknya.
Di Juventus, ia bertemu dengan skuad yang diisi oleh para juara, pemain-pemain dengan ego besar dan tubuh yang telah terbiasa dengan ritme yang berbeda. Taktik man-to-man agresifnya seringkali meninggalkan lubang menganga di lini belakang. Pertahanan Juventus, yang dulu menjadi benteng paling kokoh di Eropa, tiba-tiba menjadi rapuh. Mereka terlalu mudah kebobolan gol-gol yang seharusnya bisa dihindari karena seorang pemain kalah dalam duel individu.
Friksi di Ruang Ganti: Sumber internal menyebutkan bahwa metode latihan Tudor yang sangat berat secara fisik telah menimbulkan keluhan di antara para pemain senior. Pemain seperti Adrien Rabiot dan kapten Danilo, yang terbiasa dengan manajemen ritme yang lebih taktis, merasa sistem ini tidak berkelanjutan (unsustainable) untuk musim yang panjang.
Selain itu, Federico Chiesa, salah satu talenta terbesar Italia, dilaporkan tidak senang dengan peran defensif yang dibebankan kepadanya. Sistem Tudor menuntut penyerang sayap untuk melacak bek sayap lawan sampai ke garis pertahanan sendiri, sesuatu yang dianggap Chiesa menumpulkan efektivitas menyerangnya.
Sebaliknya, Dusan Vlahovic mungkin adalah satu-satunya pemain yang tampak berkembang, karena sistem Tudor yang ofensif memberinya banyak suplai bola. Namun, itu tidak cukup untuk menopang tim secara keseluruhan.
Tudor gagal beradaptasi. Ia menolak untuk berkompromi dengan filosofinya, sebuah sikap yang mungkin mengagumkan dalam idealisme, tetapi fatal dalam politik ruang ganti klub sebesar Juventus.
Untuk Sementara: Paolo Montero Mengambil Alih
Dalam situasi darurat ini, Juventus tidak membuang waktu. Sambil mencari pelatih permanen, manajemen telah menunjuk legenda klub, Paolo Montero, sebagai pelatih interim (caretaker).
Montero, yang sebelumnya menangani tim Juventus U-19 (Primavera), adalah sosok yang dihormati di dalam klub. Ia adalah perwujudan dari “Grinta Juve” di era 1990-an dan 2000-an. Penunjukannya, meskipun sementara, diharapkan dapat memberikan dua hal:
- Guncangan Emosional: Mengembalikan semangat juang dan kebanggaan mengenakan seragam hitam-putih.
- Stabilitas Dasar: Montero kemungkinan akan segera membuang sistem man-to-man Tudor dan kembali ke dasar-dasar pertahanan zona yang lebih familiar bagi pemain Juventus.
Tugas pertamanya adalah mempersiapkan tim untuk laga berat akhir pekan ini. Ini bukan tugas yang mudah, tetapi Montero adalah pilihan paling logis untuk menenangkan badai saat ini.
Perburuan Dimulai: Siapa Calon Pelatih Baru Juventus?
Pemecatan Tudor telah secara resmi membuka kotak pandora bursa pelatih. Cristiano Giuntoli kini berada di bawah tekanan besar untuk tidak salah langkah lagi. Nama-nama besar segera muncul ke permukaan, dan updatebola memetakan kandidat-kandidat terkuat.
1. Antonio Conte: Sang Penyelamat yang Emosional
Ini adalah nama yang langsung diteriakkan oleh para fans. Antonio Conte sedang menganggur, dan ia memiliki sejarah emas bersama Juventus, baik sebagai pemain maupun pelatih.
- Pro: Conte adalah jaminan kesuksesan domestik. Dia tahu cara membakar semangat pemain, menerapkan disiplin taktis yang ketat, dan yang terpenting, dia tahu cara menang di Serie A. Dia bisa membangkitkan “Grinta” yang hilang.
- Kontra: Conte adalah sosok yang sangat menuntut, baik secara finansial (gaji tinggi) maupun di bursa transfer (menuntut pemain jadi). Hubungannya dengan Presiden Andrea Agnelli di masa lalu juga tidak berakhir baik, meskipun kini Agnelli telah tiada. Apakah manajemen baru bersedia menangani kepribadiannya yang meledak-ledak?
2. Thiago Motta: Pilihan yang Rasional dan Modern
Ini adalah pilihan yang paling “Giuntoli”. Thiago Motta telah melakukan keajaiban di Bologna (secara hipotetis) dengan sepak bola yang berbasis penguasaan bola, cerdas secara taktik, dan modern, namun tidak se-ekstrem Tudor.
- Pro: Motta mewakili masa depan. Dia adalah antitesis dari Tudor; permainannya cair, berbasis posisi, dan cerdas. Dia telah membuktikan bisa memaksimalkan skuad dengan anggaran terbatas, sesuatu yang disukai manajemen baru Juventus yang lebih hemat.
- Kontra: Kurangnya pengalaman di klub sebesar Juventus. Mengelola ruang ganti Bologna sangat berbeda dengan mengelola ego dan tekanan di Turin. Apakah ini lompatan yang terlalu cepat baginya?
3. Zinedine Zidane: Opsi Impian yang Rumit
Nama Zinedine Zidane selalu muncul setiap kali kursi pelatih Juventus kosong. Legenda klub, pemenang tiga Liga Champions berturut-turut, dan sosok yang dihormati secara global.
- Pro: Statusnya sebagai legenda akan langsung mengamankan rasa hormat di ruang ganti. Rekornya di Liga Champions tidak tertandingi, sesuatu yang sangat didambakan Juventus.
- Kontra: Zidane dikenal sangat selektif. Dia dilaporkan masih menunggu pekerjaan di timnas Prancis. Selain itu, tuntutan gajinya akan sangat besar. Apakah dia bersedia mengambil alih tim di tengah musim yang sedang krisis?
4. Roberto De Zerbi: Sang Inovator
Pilihan wildcard yang bisa jadi dipertimbangkan. Roberto De Zerbi telah memukau Eropa dengan gaya sepak bolanya yang revolusioner.
- Pro: Jika Juventus benar-benar ingin berkomitmen pada revolusi sepak bola menyerang, De Zerbi adalah ahlinya. Dia akan mengubah wajah tim secara total.
- Kontra: Seperti Tudor, dia adalah seorang idealis. Sistemnya rumit dan butuh waktu untuk diterapkan. Apakah Juventus memiliki kesabaran untuk itu? Selain itu, dia saat ini terikat kontrak (di Brighton atau klub lain), membuatnya sulit didapat di tengah musim.
Penutup: Pertaruhan Besar Giuntoli dan Masa Depan Juventus
Pemecatan Igor Tudor lebih dari sekadar mengganti pelatih. Ini adalah pengakuan dari manajemen Juventus bahwa eksperimen “revolusi” mereka telah gagal total.
Cristiano Giuntoli, yang reputasinya sedang dipertaruhkan, kini harus membuat pilihan yang tepat. Apakah ia akan kembali ke “jalan yang aman” dengan memilih pragmatisme (seperti Conte, atau bahkan Walter Mazzarri sebagai opsi jangka pendek)? Ataukah ia akan mencoba lagi rute “proyek” dengan sosok yang lebih stabil seperti Thiago Motta?
Bagi Juventus, ini adalah reset paksa. Musim ini mungkin harus dikorbankan untuk membangun fondasi baru. Satu hal yang pasti, keputusan ini akan berdampak besar pada perburuan gelar Serie A, di mana para rival seperti Inter, AC Milan, dan Napoli kini tersenyum melihat kekacauan di kubu sang Nyonya Tua.
Ikuti terus updatebola untuk liputan eksklusif dan analisis lebih lanjut mengenai perburuan pelatih baru Juventus.
